Sinopsis:
Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.
Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.
“Setamat membaca buku ini, satu hal yang pasti nyata: saya menangguk banyak kearifan di kedalaman cerita.”
--A. Fuadi, Penulis Trilogi Negeri 5 Menara
“Sungguh Tere-Liye berhasil menggugah saya sebagai pembaca sekaligus seorang anak dari seorang ayah yang sangat saya banggakan. A must read.”
--Amang Suramang, Penggerak di Goodreads Indonesia
“Isinya tak hanya menggugah dan membuat haru, tapi membuat kita merasa perlu meneguhkan kembali keyakinan dan kecintaan pada keluarga. Salut atas novel ini!”
--Arwin Rasyid, Presiden Direktur Bank CIMB-Niaga
“Novel ini dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang konsep budi pekerti di negeri ini.”
--Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia
0 komentar
Post a Comment